Indonesia sebagai negara yang terletak di cincin api dunia berisiko penuh terhadap bencana alam seperti gunung meletus dan gempa bumi. Bencana tersebut merupakan bencana alam yang tidak dapat dihindari. Kesiapsiagaan masyarakat sangat penting dalam menghadapi ancaman-ancaman tersebut. Di satu sisi, bencana alam yang disebabkan oleh aktivitas manusia juga telah mengancam masyarakat global, tak terkecuali penduduk Indonesia. Bencana yang sering disebut dengan bencana antropogenik tersebut merupakan akibat rusaknya sistem iklim. Aktivitas manusia yang cenderung mengeksploitasi alam dan tanpa mempertimbangkan daya dukung alam sangat berkontribusi terhadap perubahan iklim. Meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil sejak revolusi industri di negara maju telah meningkatkan jumlah karbon di atmosfer. Jumlah yang melebihi ambang batas tersebut telah memerangkap bumi dalam pemanasan global. Karena sifatnya yang global, negara yang tidak begitu berkontribusi pada kenaikan karbon seperti Indonesia dan negara berkembang lainnya menerima dampaknya.
Analisa menyebutkan terjadi kenaikan curah hujan di Jakarta sebesar 100 mm pada periode 1955-1985 dibanding pada periode 1885-1915 (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, BAPPENAS: 2010). Kenaikan curah hujan pada 1990 – 2020 di Jawa-Bali diprediksi naik pada bulan Desember – Maret. Melihat data tersebut, bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan beberapa kota seperti Pekalongan merupakan implikasi dari naikknya curah hujan. Hal tersebut tentunya diperburuk dengan kondisi lingkungan kota yang sudah rusak dimana ruang-ruang terbuka untuk resapan air mulai berkurang.
Dampak lainnya adalah naiknya permukaan air laut. Kota-kota pesisir seperti Jakarta, Bandar Lampung, Pekalongan, dan Semarang sudah menerima dampaknya. Rerata akan terjadi kenaikan sebesar 0,6 cm/tahun – 0,8 cm/tahun hingga 2030 jika tidak dilakukan intervensi untuk mengurangi dampak. Besaran tersebut tergantung juga dengan kondisi pembangunan dan kebijakan di masing-masing kota. Jangkauan dan frekuensi rob semakin tahun semakin besar, seperti halnya Semarang yang juga diperburuk dengan penurunan muka tanah.
Pembangunan yang masiv melipatgandakan dampak perubahan iklim yang diterima oleh masyarakat. Dalam sebuah lingkup kota atau daerah, pembangunan yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan alam berpotensi besar menimbulkan kerugian baik ekonomi, ekologi, maupun sosial untuk masyarakat. Tingkat urbanisasi yang tinggi menjadikan kota penuh sesak dan seringkali memunculkan permasalahan lingkungan seperti timbulan sampah. Kota pun harus menanggung beban lingkungan, sosial, dan ekonomi yang berat. Kebutuhan perumahan dan fasilitas umum meningkat sehingga pembukaan lahan untuk perumahan di wilayah-wilayah konservasi pun terjadi. Dalam sebuah kajian berjudul Asian Green City Index, yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit dan disponsori oleh Siemens, Jakarta masih memiliki permasalahan yang buruk di sektor sampah, Secara keseluruhan, Singapore menjadi kota dengan indeks kota hijau tertingga se-Asia.
Komunitas Hijau dalam Kota Hijau
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pekerjaan Umum untuk mewujudkan kota hijau, adalah dengan progam pengembangan kota hijau. Ada 8 parameter kota hijau, yakni green transportation, green building, green community, green waste, green planning and design, green open space, green water, dan green energy. Inisiasi yang bagus untuk menjadikan kota hijau.
Dalam mencapai kota hijau, titik kunci berada di peran komunitas hijau untuk terus melakukan advokasi kepada pemerintah dalam menyediakan ruang terbuka hijau sesuai dengan amanat Undang-Undang, yakni 30%. Keterlibatan komunitas hijau ini mampu menjadi virus-virus yang memberikan edukasi dan kesadaran kepada masyarakat luas akan pentingnya berperilaku ramah lingkungan. Keberadaan komunitas hijau ini perlu didorong dengan ruang publik yang nyaman. Komunitas hijau ini dapat menjadi corong untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan dan mendorong penegakan hukum terkait pelanggaran lingkungan.
Perencana kota pun harus memiliki pandangan ke depan terkait kebutuhan masyarakat akan ruang-ruang untuk berinteraksi.Amanda Burden, kepala perencana kota di bawah Administrasi Bloomberg, Blooklyn, AS mengatakan bahwa seorang perencana kota harus lebih banyak mendengarkan akan kebutuhan publik dalam suatu kota. “Ruang publik dan ruang terbuka hijau adalah tempat dimana anda akan senang pergi ke sana, dimana anda dapat menemukan dengan mudah tempat duduk yang nyaman”, kata Amanda. Dalam merencanakan sebuah kota, humanity sense menjadi yang utama terutama dalam menciptakan ruang-ruang terbuka karena ruang ini memiliki kekuatan. Adanya ruang terbuka yang nyaman menjadi pertimbangan orang dalam memilih sebuah kota untuk menjadi tempat tinggal.
Selain menjadi ruang berinteraksi, Ruang Terbuka Hijau (RTH) ini menjadi wilayah untuk peresapan air, hutan kota yang mampu menyerap emisi karbon yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. RTH tidak saja memberikan nilai lingkungan, akan tetapi juga memberikan nilai ekonomi dan sosial masyarakat kota.
Holistic approach dalam perencanaan dan pembangunan kota juga harus terlembaga tidak saja pada perencana kota akan tetapi juga pemerintah daerah / kota. Dengan menggunakan kacamata helikopter, pemerintah dapat mempertimbangkan setiap pembangunan yang akan dilakukan. Tidak hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga harus mempertimbangkan keseimbangan alam, aspek sosial dalam pembangunan. Pemerintah harus mampu melihat skenario ke depan dalam merencanakan, tidak sepotong-potong dan spontanius. Pemimpin yang bervisi “hijau” menjadi syarat mutlak mencapai kota hijau.
Untuk bisa mempercepat pencapaian kota hijau, sinergistas dengan stakeholders terutama dengan swasta dan akademi perlu dikedepankan. Sinergitas tidak lagi menggunakan pertanyaan, “apa masalahnya”, akan tetapi lebih pada pertanyaan, “potensi apa yang anda punya?” akan lebih efektif dalam merangkul seluruh stakeholders di kota. Hari Bumi kali ini bertema Green City, harus mampu mulai merubah paradigma pemerintah dan stakeholders kota dalam pengelolaan lingkungan yang lebih “berkemanusiaan” bagi penghuninya. (aw)