Semarang- BINTARI bersama World Resources Institute (WRI) Indonesia dan Traveloka mengadakan kegiatan Focus Group Discussion dengan tema “Restorasi Mangrove dan Perikanan Berkelanjutan” pada 15 Oktober 2023 di Hotel Dafam Semarang. Kegiatan ini diikuti oleh 40 peserta yang terdiri dari Kelompok Mangrove Lestari Semarang, Pokmas Pemberdayaan Penghijauan Serumpun Mangrove Tumbuh, Kelompok Kerja Adaptasi Perubahan Iklim Desa Pecakaran Pekalongan, Kelompok Tani Balik Kambang Jaya Desa Semut Pekalongan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pekalongan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pekalongan, dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang.
Acara FGD dibuka oleh Bapak Abduroviq selaku perwakilan dari Bintari. Dalam sambutannya menyampaikan pengantar terkait masalah abrasi di pesisir Semarang maupun Pekalongan serta dilakukanya penanaman mangrove sebagai upaya yang efektif.
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi dari WRI dan Traveloka terkait Restorasi Mangrove, Silvofishery dan Ecotourism Mangrove. Materi pertama tentang restorasi mangrove disampaikan oleh Ardi dari WRI yang menyampaikan bahwa masyarakat yang bersinggungan langsung dengan pesisir akan lebih mengetahui kondisi dan perlakuan mangrove di lokasi tersebut dan dapat secara langsung melestarikannya. Mangrove dapat membantu memitigasi dampak krisis iklim karena menyimpan karbon dalam jumlah besar. Mangrove di Indonesia bisa menyimpan 3,1 Miliar ton atau setara emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari 2,5 miliar emisi kendaraan dalam setahun. Namun demikian, dalam upaya restorasi mangrove juga perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan restorasi mangrove. Faktor-faktor tersebut diantaranya mengantisipasi hama dan penyakit, pasang surut, teknik penanaman, faktor internal dan eksternal tanaman serta kesesuaian zonasi jenis tanaman.
Materi kedua terkait silvofishery disampaikan oleh Sarah dari WRI yang menyampaikan bahwa salah satu permasalahan dalam pelestarian ekosistem mangrove adalah alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya perikanan yang mengancam keberadaan mangrove. Oleh karena itu, perlu adanya kombinasi antara perikanan dan mangrove yang disebut “Silvofishery” sebagai upaya menjalankan budidaya perikanan yang tetap melestarikan mangrove. Selain mempunyai manfaat terhadap dampak perubahan iklim, mangrove juga memiliki peluang ekonomi sebagai ecotourism. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Icu Marwati bahwa Traveloka mengembangkan layanan lokal salah satunya tour wisata sambil menanam mangrove dengan prinsip community–based atau desa wisata sebagai bentuk sustainable tourism.
Diskusi kemudian berlangsung bersama peserta FGD. Muis dari Pekalongan menyampaikan “Kondisi pesisir sangat komplek, dimana banyak mangrove yang mati karena abrasi. Walaupun ada pembangunan tanggul, akan tetapi bagian utara tanggul masih terkena abrasi. Di muara sungai Senkarang masih terdapat mangrove. Di bibir pantai sudah banyak garis pantai yang terputus dan sudah mulai direstorasi dengan membuat Pegar dan menanami mangrove dengan harapan pasca penanaman, mangrove dapat tumbuh dengan baik”.
Cerita yang lain, dari Semarang, Sururi menyampaikan “ 4 kelurahan sudah mulai ditanami dengan perjuangan yang berat. Kesulitan dari penanamannya adalah pada saat perawatan dan penyulaman. Mangunharjo memiliki mangrove terluas di Kota Semarang dengan penanaman sejak 2007”. Sementara itu Pemerintah Daerah yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pekalongan, Fakhrudin menyampaikan “Sudah banyak kegiatan yang dilakukan seperti penanaman mangrove, membuat tanggul dari geotekstil tahun 2016 dari pantai Depok-Wonokerto dan desa Pecakaran-Jambean sepanjang 200 meter tetapi tenggelam karena abrasi. Struktur hybrid dapat digunakan namun tidak boleh bersentuhan langsung dengan pantai. Pegar yang dibuat oleh BINTARI di desa Pecakaran cukup efektif. Kita bisa memanfaatkan kondisi yang ada dan memberdayakan masyarakat sekitar seperti di daerah Mulyorejo yang memanfaatkan mangrove sebagai wisata. Wilayah pesisir Kabupaten Pekalongan seperti pantai Depok-Pecakaran sangat potensial untuk dikembangkan menjadi wisata mangrove yang berkelanjutan”.
Hasil dari FGD ini diharapkan bukan hanya menjadi wadah bertukar pengetahuan namun juga sebagai langkah awal kolaborasi multi-pihak terhadap restorasi mangrove untuk mengakselerasi pencapaian bersama terkait perubahan iklim serta memberikan kontribusi positif bagi keberlanjutan daerah pesisir.