Siang itu, 17 Februari 2017 di Kelurahan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan tampak setumpuk batang kayu bakau (Rhizopora sp.) dan seorang pria menjelang lanjut usia yang masih tampak sibuk memotong kayu bakau yang tersisa menjadi berukuran 1m.
Mbah Rasadi, nama pria tersebut dulunya berprofesi nelayan karena usianya sudah tua dan fisiknya tak kuat lagi, saat ini beliau beralih menjadi penebang pohon bakau. Diakuinya, pohon bakau merupakan pohon terbaik diwilayah pesisir untuk perapian. Pekerjaan tersebut dijalani oleh beliau selama 2 tahun terakhir bersama kelima rekannya. Pak Di’ salah seorang rekannya dulu merupakan petani. Karena lahan pertanian sudah tidak dapat digunakan kembali akibat genangan rob, ia ikut serta menjalani profesi sebagai penebang pohon bakau.
Selama 20 hari kerja, beliau memperoleh potongan kayu bakau sebanyak 25m3. Satu 1m3 (satu cepet) dijual dengan harga Rp 130.000,-. Potongan kayu tersebut diperoleh dari menebang pohon-pohon bakau sebanyak 350 pohon usia 12th. Sebagai modal kerja, beliau membayar kepada pemilik lahan yang ditumbuhi pohon bakau (nebas) dengan harga 600.000,- . Dari aktivitas ini, Mbah Rasadi memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 500.000,- setelah dipotong biaya tenaga kerja dan biaya angkut.
Kayu bakau ini akan dijadikan kayu bakar dan disetor keberapa industri kerupuk dan industri garmen (memproduksi celana jeans) di Kabupaten Pekalongan dan sekitarnya.
Sepenggal fragmen di atas menyiratkan sejumlah permasalahan lingkungan yang bisa jadi akan sangat rumit dan memerlukan cara pandang yang lebih menyeluruh. Isu adaptasi perubahan iklim, kemiskinan, pertanian berkelanjutan dan industri bersih adaah beberapa isu yang tergambar dari peristiwa tersebut.
Peristiwa penebangan pohon bakau terebut, jika hanya dilihat sesaat akan muncul justifikasi terkait rendahnya kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan. Namun demikian, aktivitas penebangan tersebut terjadi akibat dorongan masyarakat untuk mendapatkan penghasilan dimana sumber penghasilan sebelumnya tidak lagi dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pesisir Kabupaten Pekalongan, dimana mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan, petambak dan petani pada saat ini tidak lagi dapat menikmati hasil dari aktivitas tersebut. Genangan rob telah merusak lahan pertanian dan menenggelamkan sejumlah tambak. Langkah Mbah Rasadi dan rekan-rekannya secara praktis dapat memberikan penghasilan dalam waktu dekat, namun sekaligus meningkatkan kerentanan wilayah pesisir terhadap ancaman abrasi dimana mangrove merupakan benteng perlindungan pesisir telah mengalami kerusakan.
Penebangan kayu bakau sendiri juga tidak akan terjadi tatkala industri yang saat ini menggunakan kayu bakau sebagai sumber energy dalam produksi dapat beralih ke mekanisme industri bersih dengan menggunakan sumber energy yang lebih bersih.
Di Indonesia, akan sangat banyak Mbah Rasadi-Mbah Rasadi lain yang juga memerlukan genggaman erat dari seluruh pihak untuk dapat bersama-sama mewujudkan kehidupan yang lebih baik yang salah satunya ditandai oleh kondisi lingkungan yang lebih baik. (KN&AK)