Opa Simon, Menjemput Harapan di Tengah Perubahan

 

Di Desa Repi, bertani adalah kehidupan. Setiap pagi, para petani memulai harinya dengan harapan, bercocok tanam di sawah dan ladang mereka. Namun, bagi petani seperti Bapak Simon Sayeng yang akrab dipanggil Opa Simon, harapan itu sering kali berbenturan dengan kenyataan pahit perubahan iklim.

 

“Dulu, bertani lebih mudah diprediksi,” kenang Opa Simon. “Musim kemarau dan hujan datang teratur. Kami tahu kapan harus menanam dan kapan panen tiba. Tapi sekarang, semuanya berubah.”

 

Ketidakpastian cuaca membuat tradisi bertani yang diwariskan turun-temurun menjadi tidak lagi relevan. Bibit sering mati karena kekeringan atau karena petani salah memperkirakan datangnya musim hujan. Para petani sering kebingungan menentukan waktu tanam yang tepat, dan hasil panen pun terus menurun.

 

“Kami pernah menanam bibit jagung setelah hujan pertama turun,” cerita Opa Simon. “Kami pikir musim hujan sudah tiba, tapi ternyata itu hanya hujan sesaat. Bibit kami mati, dan kami harus mulai dari awal lagi. Ini sangat melelahkan, baik secara fisik maupun mental.”

Opa Simon membagikan cerita tentang hasil pengukuran curah hujan pada saat kegiatan evaluasi Warung Ilmiah Lapangan (WIL)

Tantangan lainnya adalah serangan hama dan penyakit tanaman yang semakin sulit dikendalikan. Petani di Desa Repi sering merasa tidak berdaya menghadapi situasi ini. Dengan pengetahuan yang terbatas, mereka hanya mengandalkan cara lama tanpa tahu penyebab pasti kegagalan mereka.

 

“Kami tidak tahu harus berbuat apa selain mencoba lagi dan lagi,” kata Opa Simon. “Kerugian ekonomi menjadi semakin besar, dan semangat kami mulai pudar.”

 

Namun, titik terang muncul pada tahun 2022 ketika program PEKA IKLIM mulai diperkenalkan di Desa Repi. Program ini bertujuan membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim melalui metode pertanian yang lebih cerdas dan ramah lingkungan.

 

Melalui program ini, dibentuklah kelompok Perhimpunan Petani Tanggap Perubahan Iklim (PPTPI), yang terdiri dari sekitar 30 petani termasuk Opa Simon. Kelompok ini menjadi wadah bagi petani untuk belajar, berbagi pengalaman, dan menemukan solusi bersama.

 

“Saya sangat bersemangat ketika pertama kali bergabung,” ungkap Opa Simon. “Kami diajarkan banyak hal baru, seperti cara membuat pupuk organik, pestisida nabati, dan sistem irigasi tetes untuk menghemat air. Kami juga dilatih mengukur curah hujan dan menganalisis cuaca, sehingga kami tahu kapan waktu terbaik untuk menanam.”

 

Pelatihan ini membuka mata para petani terhadap banyak hal yang sebelumnya tidak mereka sadari. Limbah organik, yang sebelumnya dianggap tidak berguna, kini diolah menjadi pupuk dan pestisida alami. Metode ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mengurangi ketergantungan mereka pada bahan kimia.

 

“Dulu, kami mengira pupuk kimia adalah satu-satunya pilihan,” kata Opa Simon. “Tapi sekarang, kami tahu bahwa bahan organik jauh lebih baik untuk menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang.”

 

Opa Simon bersama istri sedang membuat kompos dari jerami padi

Meski manfaatnya jelas, perubahan ini tidak datang tanpa tantangan. Kebiasaan lama yang sudah mendarah daging di kalangan petani sulit untuk diubah. Banyak petani yang awalnya ragu mencoba metode baru dan lebih nyaman dengan cara lama.

 

“Beberapa teman saya masih enggan ikut pelatihan atau mencoba teknik baru,” ungkap Opa Simon. “Tapi dengan pendampingan yang terus-menerus dari tim program dan bukti hasil yang nyata, mereka perlahan mulai berubah.”

 

Hasilnya kini mulai dirasakan. Dengan menggunakan metode pertanian cerdas iklim, para petani Desa Repi mampu meningkatkan hasil panen mereka. Pendapatan mereka menjadi lebih stabil, meskipun cuaca tetap tidak menentu. Mereka juga merasa lebih percaya diri menghadapi tantangan yang ada.

 

“Salah satu perubahan terbesar adalah kami sekarang bisa merencanakan tanam dan panen dengan lebih baik,” kata Opa Simon. “Kami tahu kapan musim hujan akan tiba, berkat analisis curah hujan yang kami pelajari. Hasilnya, bibit kami tumbuh dengan baik, dan panen pun lebih optimal.”

 

Tidak hanya itu, pendekatan baru ini juga mengajarkan para petani pentingnya keberlanjutan. Dengan menggunakan bahan organik, mereka tidak hanya meningkatkan hasil panen, tetapi juga menjaga kualitas tanah untuk generasi mendatang.

 

Opa Simon kini merasa lebih optimis tentang masa depan pertanian di Desa Repi. Ia berharap metode ini bisa diadopsi oleh lebih banyak petani di desanya. “Kami ingin semua petani di sini merasakan manfaat yang sama seperti kami,” katanya.

 

Opa Simon juga berharap program PEKA IKLIM dapat diperluas ke desa-desa lain yang menghadapi tantangan serupa. “Tanpa pendampingan dan pelatihan dari program ini, saya tidak yakin kami bisa menghadapi perubahan iklim seperti sekarang,” tuturnya.

Bagikan :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *